KEBUTUHAN MANUSIA AKAN AGAMA
I.
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk
paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan segala
keinginan dan kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Namun di samping itu manusia juga mempunyai
kecenderungan untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab segala pertanyaan yang
ada dalam benaknya. Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia gelisah
dan kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya tindakan irrasionaltas.
Munculnya pemujaan terhadap benda-benda merupakan bukti adanya keingintahuan manusia
yang diliputi oleh rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kemudian kepercayaan manusia akan kebahagiaan
dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang tergantung pada hubungan
manusia dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketakutan manusia jika hubungan
baik manusia dengan kekuatan gaib tersebut hilang, maka hilang pulalah
kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari.Kemudian menurut sebagian para ahli
rasa ingin tahu dan rasa takut itu menjadi pendorong utama tumbuh suburnya rasa
keagamaan dalam diri manusia.
II.
PEMBAHASAN
1.
Definisi Agama
Pengertian Agama Secara etimologis Agama berasal
dari bahasa Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti
“tidak” dan “gam” berarti “pergi”. Dalam bentuk harfiah yang
terpadu, kata agama berarti “tidak pergi”, tetap di tempat, langgeng, abadi
yang diwariskan secara terus-menerus dari satu generasi kepada generasi yang
lainnya.(Harun Nasution, 1985:9)
Pada umumnya,perkataan “agama” diartikan
tidak kacau, yang secara analitis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi
kata, yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”.
Maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan
sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan[1].
Din dalam bahasa semik berarti undang-undang atau hukum, dalam
bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang,
balasan, kebiasaan. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang
kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban
dan kepatuhan membawa pula kepada paham batasan baik dari Tuhan yang tidak
menjalankan kewajiban dan tidak patuh akan mendapat balasan yang tidak baik.
Adapun kata religi berasa dari bahasa latin menurut Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata
religi adalah relegre yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian
demikian itu juga sejarah dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara
mengabdi kepada Tuhan yang berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi
menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religere yang berarti
mengikat ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia dengan Tuhan
Secara terminologi menurut sebagian orang, agama merupakan sebuah fenomena yang sulit didefinisikan. Meski
demikian, para cendekiawan besar dunia memiliki definisi, atau yang lebih
tepatnya kita sebut dengan kesimpulan mereka tentang fenomena agama. Beberapa
di antaranya adalah sebagai berikut:
a.
Emile Durkheim mengartikan, agama sebagai suatu kesatuan sistem kepercayaan
dan pengalaman terhadap suatu yang sakral, kemudian kepercayaan dan pengalaman
tersebut menyatu ke dalam suatu komunitas moral.
b.
Karl Mark berpendapat bahwa agama adalah keluh kesah dari makhluk yang
tertekan hati dari dunia yang tidak berhati, jiwa dari keadaan yang tidak
berjiwa, bahkan menurut pendapatnya pula bahwa agama dijadikan sebagai candu
bagi masyarakat.(Dadang Kahmad, 1990)
c.
Spencer mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan
akan sesuatu yang Maha mutlak.
d.
Frans Dahler mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan sesuatu
kekuatan suci yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri, sehingga ia
berusaha mendekatinya dan memiliki rasa ketergantungan padanya.
e.
Para ulama Islam mendefinisikan Agama adalah sebagai undang- undang
kebutuhan manusia dari Tuhannya yang mendorong mereka untuk berusaha agar
tercapai kebahagiaan hidup di dinia dan akhirat (K. Soekardji, 1991)
f.
Sebagian pemikir mengatakan bahwa
apa saja yang memiliki tiga ciri khas di bawah ini dapat disebut sebagai agama:
1)
Keyakinan bahwa di balik alam materi ini ada alam yang lain,
2)
Penciptaan alam memiliki tujuan,
3)
Alam memiliki konsep etika.
Dari beberapa pengertian agama di atas, dapat
disimpulkan bahwa Agama( seperti yang diungkapkan oleh Endang Saefudin Anshari)
merupakan suatu sistem credo ( tata keimanan atau keyakinan) atas adanya
sesuatu yang mutlak diluar manusia, dan satu sistem ritus(tata
peribadatan) manusia yang dianggapnya mutlak serta sistem norma (tata kaidah)
yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia
dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan termaksud.[2]
2.
Asal – usul Agama
Banyak teori yang menyatakan asal usul agama,
di antaranya yaitu :
a.
Teori Jiwa
Para ilmuwan penganut teori ini berpendapat, agama yang paling awal
bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di dunia ini tidak hanya
dihuni oleh makhluk materi, tetapi dihuni juga oleh makhluk inmateri yang
disebut jiwa(anima). Pendapat ini dipelopori oleh seorang ilmuwan inggris yang
bernama Edward Burnet Taylor(1832-1917), ia mengatakan bahwa asal mula agama
bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan roh atau jiwa. Mereka
memahami adanya mimpi dan kematian, yang mengantarkan mereka kepada pengertian
bahwa kedua peristiwa itu (mimpi dan kematian)merupakan bentuk pemisahan antara
roh dan tubuh kasar. Teori ini membedakan antara pengertian roh atau jiwa
dengan makhluk halus. Roh adalah bagian halus dari setiap makhluk yang mampu
hidup terus sesudah jasadnya mati, sedangkan makhluk halus adalah sesuatu yang
terjadi dari awalnya seperti itu. Contohnya peri, dewa- dewi yang dianggap
berkuasa. Jadi, pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran akan adanya
jiwa yang akhirnya menjadi kepercayaan kepada makhluk-mahluk halus.
Teori ini juga membicarakan evolusi agama atau proses kepercayaan terhadap
makhluk halus yang berevolusi secara bertahap. Tingkat yang paling dasar dari
evolusi agama adalah ketika manusia percaya bahwa makhluk- makhluk halus itulah
yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Makhluk halus menjadi
objek penghormatan dan penyembahan manusia dengan berbagai upacara keagamaan
berupa doa, sesajen, atau korban, yang oleh E. B. Taylor disebut Animisme.
Tingkat selanjutnya, manusia percaya bahwa gerak alam ini disebabkan oleh
jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu. sungai yang mengalir,
gunung yang meletus, angin topan yang menderu, matahari, bulan, dan tumbuhan
semuanya bergerak karena jiwa alam ini. Makhluk halus yang ada di belakang
gerak alam seperti itu disebut dewa- dewa alam. Tingkat kedua dari evolusi
agama ini disebut polytheisme yang berarti banyak tuhan.
Tingkat ketiga dari evolusi agama bersamaan bersamaan dengan timbulnya
susunan kenegaraan di dalam masyarakat manusia, dengan begitu muncul juga
kepercayaan bahwa di alam dewa-dewa juga terdapat susunan kenegaraan serupa. Para
dewa pun dikenal dengan dengan stratifikasi dewa-dewa, mulai dari dewa yang
tertinggi sampai pada dewa yang paling rendah. Susunan masyarakat dewa itu
lambat laun menimbulkan kesadaran baru bahwa semua dewa itu pada hakikatnya
merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi itu. Akibatnya,
berkembanglah kepercayaan pada satu Tuhan, yaitu Tuhan yang Mahaesa. Dari
sinilah timbul agama bertuhan satu atau monotheisme.[3]
b.
Teori Batas Akal
Teori ini menyatakan bahwa permulaan
terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami gejala yang tidak dapat
diterangkan oleh akalnya. Tokoh teori ini adalah James G, Frazer. Menurutnya,
manusia bisa memecahkan berbagai persoalan hidupnya dengan akal dan sistem
pengetahuannya. Tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya, dan batas
akal itu meluas sejalan dengan meluasnya perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh
karena itu, makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu.
Pada mulanya manusia hanya menggunakan ilmu
gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan
pengetahuan akalnya. Lambat laun terbukti banyak persoalan hidup yang tidak
terpecahkan oleh kekuatan gaibnya, bahkan tidak ada hasilnya sama sekali. Oleh
karena itu ia mulai percaya bahwa alam ini di diami oleh makhluk - makhluk
halus yang lebih berkuasa dari manusia. Maka mereka mulai mencari hubungan yang
baik dengan makhluk- makhluk halus tersebut. Dengan demikian, hubungan baik ini
menyebabkan manusia mulai mempercayakan nasibnya kepada kekuatan yang lebih
daripada dirinya. dari sinilah mulai timbul religi (Agama)[4].
c.
Teori Kekuatan Luar Biasa
Teori ini mengatakan bahwa agama dan sikap
religius manusia terjadi karena adanya kejadian luar biasa yang menimpa manusia
yang terdapat lingkungan alam sekelilingnya. Tokoh teori ini adalah R .R.
Marett.
Antropolog itu menguraikan teorinya diawali
dengan satu sanggahan terhadap pendapat Edward. B. Taylor yang menyatakan bahwa
timbulnya agama itu karena adanya kesedaran manusia terhadap adanya jiwa. menurut
Marett, kesadaran seperti itu terlalu rumit dan terlalu kompleks bagi ukuran
pikiran manusia yang baru saja ada pada kehidupan di muka bumi ini. Ia
mengajukan teori barunya bahwa pangkal dari segala kelakuan keagamaan pada
manusia di timbulkan oleh suatu perasaan rendah diri terhadap adanya gejala-
gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupan manusia.
Alam tempat gejala- gejala dan peristiwa itu berasal yang dianggap mempunyai
kekuatan yang melebihi kekuatan yang telah dikenal manusia di alam
sekelilingnya disebut super natural atau kekuatan luar biasa
sakti. Kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala- gejala,
hal-hal, dan peristiwa yang luar biasa itu dianggap oleh Maret sebagai suatu
kepercayaan yang ada pada manusia sebelum mereka percaya kepada makhluk halus
atau roh. Dengan perkataan lain, sebelum adanya kepercayaan animisme,
manusia mempunyai kepercayaan preanimisme,. Marett menyatakan bahwa
preanimisme lebih dikenal dengan sebutan dinamisme[5].
d.
Teori Sentimen Kemasyarakatan
Tokoh teori ini adalah Emile Durkheim. Dia
menyatakan bahwa agama ada karena adanya suatu getaran emosi yang timbul dari
dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga
masyarakat. Sentimen kemasyarakatan yang muncul yang muncul dalam batin manusia
, pada awalnya berupa perasaan yang kompleks dan memiliki masa dan rasa
terikat. Seperti timbul rasa cinta terhadap masyarakatnya yang merupakan tempat
berinteraksi dan berkomunikasi di lingkungan ia hidup. Dari gejala seperti inilah
menurut teori ini , lambat laun akan membentuk suatu agama.
e.
Teori Revelansi
Tokoh teori ini adalah Andrew Lang. Teori ini
menyatakan bahwa kelakuan keagamaan pada manusia itu terjadi karena adanya
wahyu dari Tuhan. Teori ini disebut teori Wahyu Tuhan. Bentuk
kepercayaan seperti ini menurut Andrew Lang, merupakan bentuk kepercayaan yang
sudah tua usianya, bahkan merupakan bentuk agama tertua dalam perjalanan
sejarah agama- agama.[6]
Sementara itu, pakar- pakar agama Islam berpendapat bahwa benih agama
muncul dari penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Manusia pertama, yang diperintahkan oleh Allah
untuk turun ke bumi , diberi pesan agar mengikuti petunjuk-Nya, jika petunjuk
tersebut sampai kepadanya (QS 2:38). Petunjuk pertama yang melahirkan agama,
menurut mereka, adalah ketika Adam (dalam perjalanannya di bumi ini)
menemukan ketiga hal yang disebutkan di atas. Sebagai ilustrasi , dapat diduga
bahwa Adam menemukan keindahan pada alam raya, pada bintang yang
gemerlapan, kembang yang mekar dan sebagainya. Dan ditemukan kebaikan
pada angin sepoi yang menyegarkan di saat ia merasa gerah kepanasan atau pada
air yang sejuk di kala ia sedang kehausan. Kemudian, ditemukannya kebenaran
dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam raya dan di dalam dirinya sendiri.
Gabungan ketiga hal ini melahirkan kesucian. Sang manusia memiliki
naluri ingin tahu, berusaha untuk mendapatkan apakah yang paling indah, benar
dan baik ? jiwa dan akalnya mengantarkannya bertemu dengan yang Mahasuci
dan ketika itu ia berusaha untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan berusaha untuk
mencontoh sifat- sifat-Nya. Dari sinilah agama lahir, bahkan dari sini pula
dilukiskan proses beragama sebagai “ upaya manusia untuk mencontoh sifat- sifat
yang Mahasuci”. Dalam hadits Nabi saw . diperintahkan untuk itu, yaitu “
Takhallaqu bi Akhlaqillah” (berakhlaklah kalian dengan Akhlak Allah)[7].
3.
Kebutuhan
Manusia Terhadap Agama
kebutuhan manusia terhadap agama dapat
disebabkan karena masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan
perlunya manusia terhadap agama sebagai kebutuhan. Ada empat faktor yang
menyebabkan manusia memerlukan agama. Yaitu:
a)
Faktor Kondisi Manusia
Kondisi manusia terdiri dari beberapa unsur,
yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kedua
unsur tersebut harus mendapat perhatian khusus yang seimbang. Unsur jasmani
membutuhkan pemenuhan yang bersifat fisik jasmaniah. Kebutuhan tersebut adalah
makan-minum, bekerja, istirahat yang seimbang, berolahraga, dan segala
aktivitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur rohani membutuhkan pemenuhan yang
bersifat psikis (mental) rohaniah. Kebutuhan tersebut adalah pendidikan agama,
budi pekerti, kepuasan, kasih sayang, dan segala aktivitas rohani yang
seimbang.
Kedua hubungan tersebut sangat erat dalam
usaha menciptakan hidup bahagia. Banyak kenyataan yang dapat dilihat, bahwa
seorang seseorang secara materiil dipandang mampu, tidak kekurangan apapun,
namun karena tidak diimbangi oleh kesiapan mental, maka materiil itu akhirnya
harus menjadi beban hidupnya sendiri. Oleh sebab itu, kondisi seperti ini
hakikatnya menuntut agar semua agar semua kebutuhan itu dapat dipenuhi, dalam
mewujudkan hidup harmonis, bahagia, sejahtera termasuk kebutuhan rohani
seseorang, yaitu Agaama.
b)
Faktor Status Manusia
Status manusia adalah sebagai makhluk ciptaan
Allah yang paling sempurna. Jika dibanding dengan makhluk lain, Allah
menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kesempurnaan, yaitu kesempurnaan
akal dan pikiran, kemuliaan, dan berbagai kelebihan lainnya. Dalam segi
rohaniah manusia memiliki aspek rohaniah yang kompleks. Manusia adalah
satu-satunya yang mempunyai akal dan manusia pulalah yang mempunyai kata hati.
Sehingga dengan kelengkapan itu Allah menempatkan mereka pada permukaan
yang paling atas dalam garis horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya manusia
mengakui adanya Allah. Dengan hati nuraninya manusia menyadari bahwa dirinya
tidak terlepas dari pengawasan dan ketentuan Allah. Dan dengan agamalah manusia
belajar mengenal Tuhan dan agama juga mengajarkan cara berkomunikasi dengan
sesamanya, dengan kehidupannya, dan lingkungannya.
c)
Faktor Struktur Dasar Kepribadian
Dalam teori psikoanalisis Sigmun Freud membagi
struktur kepribadian manusia dengan tiga bagian. Yaitu:
Ø
Aspek Das es yaitu aspek biologis. Aspek ini merupakan sistem yang orisinal
dalam kepribadian manusia yang berkembang secara alami dan menjadi bagian yang
subjektif yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia objektif.
Ø
Aspek das ich, yaitu aspek psikis yang timbul karena kebutuhan organisme
untuk hubungan baik dengan dunia nyata.
Ø
Aspek das uber ich, aspek sosiologis yang yang mewakili nilai-nilai
tradisional serta cita-cita masyarakat.
Selain faktor yang dimiliki manusia dalam
memerlukan agama ada juga alasan mengapa manusia perlu beragama. Dalam
buku yang ditulis Yatimin juga Abudin Nata bahwa ada tiga alasan yang
melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Yaitu:
a.
Fitrah Manusia
Kenyataan manusia memiliki fitrah keagamaan
dijelaskan dalam ajaran islam bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia.
Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Dan di masa akhir-akhir ini
muncul beberapa orang yang memerlukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan
yang berada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia
terhadap agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia
agar beragama, maka seruan itu memang amat sejalan dengan fitrah manusia itu.
Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat
pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah insan yang digunakan
Al- Qur’an untuk menunjukkan manusia. Manusia (insan) secara fitrah sudah
dilengkapi dengan kemampuan mengenal, memahami kebenaran, dan kebaikan yang
terpancar dari kebaikan-Nya.
b.
Adanya Nafsu (An-Nafs)
Alasan lain yang melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah karena
manusia memiliki berbagai kesempurnaan dan memiliki kekurangan. Quraish Shihab
mengatakan, an-nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk
berfungsi menampung dan mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.
Karena nafsu inilah yang oleh Al- Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian yang
lebih besar.
Untuk menjaga kesucian nafs ini manusia
harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama. Disinilah
letak kebutuhan manusia terhadap agama.
c.
Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia
dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang
dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalm dapat berupa dorongan hawa
nafsu dan bisikan setan. Tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-
upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan
manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan buaya, tenaga dan pikiran
yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang didalamnya misi
menjauhkan manusia dari Tuhan[8].
III.
KESIMPULAN
Agama mengandung arti ikatan yang harus
dipegang dan dipatuhi oleh manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar
terhadap kehidupan manusia. Ikatan itu berasal dari kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia, sebagai fitrah yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya. Kebutuhan
manusia terhadap agama memiliki beberapa faktor domonan, yaitu :faktor kondisi
manusia, faktor status manusia dan faktor struktur dasar kepribadian manusia.
Agama merupakan peraturan-peraturan
yangterdiri dari kepercayaan- kepercayaan dan pekerjaan yang bertaut dengan
keadaan- keadaan yang suci. Artinya, agama membedakan mana yng halal dan mana
yang haram. Agama dapat membawa manusia menjadi suatu umat yang mempunyai
kesatuan dan persamaan derajat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Yatimin , Studi Islam
Kontemporer, Jakarta : AMZAH,2006
Ahmad ,
Dadang, Sosiologi Agama, Bandung : PT Remaja Rosdakarya,2002
Shihab, M.Quraisy, “Membumikan” Al-Qur’an,
Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007
Yusuf , Ali Anwar, Studi Agama Islam,
Bandung : CV Pustaka Setia, 2003
[1]
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama
Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2003), hlm 17-18
[2]
Ibid, hlm. 19
[3]
Dadang Ahmad, Sosiologi Agama,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya,2002) hlm.24-26
[4]
Ibid, hlm.26
[5]
Ibid, hlm 28
[6]
Ali Amwar Yusuf, Opcit, hlm
22-23
[7]
M.Quraisy Shihab, “Membumikan”
Al-Qur’an, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007) hlm. 325-326
[8]
M.Yatimin.Abdullah, Studi Islam
Kontemporer, (Jakarta : AMZAH,2006) hlm 42-44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar