welcome

berkaryalah, sekecil apapun itu!!!
101211064

Selasa, 13 Desember 2011

Agama



KEBUTUHAN MANUSIA AKAN AGAMA
       I.            PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan segala keinginan dan kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Namun di samping itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam benaknya. Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia gelisah dan kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya tindakan irrasionaltas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda merupakan bukti adanya keingintahuan manusia yang diliputi oleh rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kemudian kepercayaan manusia akan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang tergantung pada hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketakutan manusia jika hubungan baik manusia dengan kekuatan gaib tersebut hilang, maka hilang pulalah kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari.Kemudian menurut sebagian para ahli rasa ingin tahu dan rasa takut itu menjadi pendorong utama tumbuh suburnya rasa keagamaan dalam diri manusia.
    II.            PEMBAHASAN
1.      Definisi Agama
Pengertian Agama Secara etimologis Agama berasal dari bahasa Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti “tidak”  dan “gam” berarti “pergi”. Dalam bentuk harfiah yang terpadu, kata agama berarti “tidak pergi”, tetap di tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus-menerus dari satu generasi kepada generasi yang lainnya.(Harun Nasution, 1985:9)
Pada umumnya,perkataan  “agama” diartikan tidak kacau, yang secara analitis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata, yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”. Maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan[1].
Din dalam bahasa semik berarti undang-undang atau hukum, dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepada paham batasan baik dari Tuhan yang tidak menjalankan kewajiban dan tidak patuh akan mendapat balasan yang tidak baik.
Adapun kata religi berasa dari bahasa latin menurut  Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegre yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejarah dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religere yang berarti mengikat ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia dengan Tuhan
Secara terminologi menurut sebagian orang, agama merupakan sebuah fenomena yang sulit didefinisikan. Meski demikian, para cendekiawan besar dunia memiliki definisi, atau yang lebih tepatnya kita sebut dengan kesimpulan mereka tentang fenomena agama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
a.       Emile Durkheim mengartikan, agama sebagai suatu kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap suatu yang sakral, kemudian kepercayaan dan pengalaman tersebut menyatu ke dalam suatu komunitas moral.
b.      Karl Mark berpendapat bahwa agama adalah keluh kesah dari makhluk yang tertekan hati dari dunia yang tidak berhati, jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa, bahkan menurut pendapatnya pula bahwa agama dijadikan sebagai candu bagi masyarakat.(Dadang Kahmad, 1990)
c.       Spencer mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan sesuatu yang Maha mutlak.
d.      Frans Dahler mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan sesuatu kekuatan suci yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri, sehingga ia berusaha mendekatinya dan memiliki rasa ketergantungan padanya.
e.       Para ulama Islam mendefinisikan Agama adalah sebagai undang- undang kebutuhan manusia dari Tuhannya yang mendorong mereka untuk berusaha agar tercapai kebahagiaan hidup di dinia dan akhirat (K. Soekardji, 1991)
f.        Sebagian pemikir mengatakan bahwa apa saja yang memiliki tiga ciri khas di bawah ini dapat disebut sebagai agama:
1)      Keyakinan bahwa di balik alam materi ini ada alam yang lain,
2)       Penciptaan alam memiliki tujuan,
3)       Alam memiliki konsep etika.

Dari beberapa pengertian agama di atas, dapat disimpulkan bahwa Agama( seperti yang diungkapkan oleh Endang Saefudin Anshari) merupakan suatu sistem credo ( tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak diluar manusia, dan satu sistem ritus(tata peribadatan) manusia yang dianggapnya mutlak serta sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud.[2]
2.      Asal – usul Agama
Banyak teori yang menyatakan asal usul agama, di antaranya yaitu :
a.       Teori Jiwa
Para ilmuwan penganut teori ini berpendapat, agama yang paling awal bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di dunia ini tidak hanya dihuni oleh makhluk materi, tetapi dihuni juga oleh makhluk inmateri yang disebut jiwa(anima). Pendapat ini dipelopori oleh seorang ilmuwan inggris yang bernama Edward Burnet Taylor(1832-1917), ia mengatakan bahwa asal mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan roh atau jiwa. Mereka memahami adanya mimpi dan kematian, yang mengantarkan mereka kepada pengertian bahwa kedua peristiwa itu (mimpi dan kematian)merupakan bentuk pemisahan antara roh dan tubuh kasar. Teori ini membedakan antara pengertian roh atau jiwa dengan makhluk halus. Roh adalah bagian halus dari setiap makhluk yang mampu hidup terus sesudah jasadnya mati, sedangkan makhluk halus adalah sesuatu yang terjadi dari awalnya seperti itu. Contohnya peri, dewa- dewi yang dianggap berkuasa. Jadi, pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran akan adanya jiwa yang akhirnya menjadi kepercayaan kepada makhluk-mahluk halus.
Teori ini juga membicarakan evolusi agama atau proses kepercayaan terhadap makhluk halus yang berevolusi secara bertahap. Tingkat yang paling dasar dari evolusi agama adalah ketika manusia percaya bahwa makhluk- makhluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Makhluk halus menjadi objek penghormatan dan penyembahan manusia dengan berbagai upacara keagamaan berupa doa, sesajen, atau korban, yang oleh E. B. Taylor disebut Animisme.
Tingkat selanjutnya, manusia percaya bahwa gerak alam ini disebabkan oleh jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu. sungai yang mengalir, gunung yang meletus, angin topan yang menderu, matahari, bulan, dan tumbuhan semuanya bergerak karena jiwa alam ini. Makhluk halus yang ada di belakang gerak alam seperti itu disebut dewa- dewa alam. Tingkat kedua dari evolusi agama ini disebut polytheisme yang berarti banyak tuhan.
Tingkat ketiga dari evolusi agama bersamaan bersamaan dengan timbulnya susunan kenegaraan di dalam masyarakat manusia, dengan begitu muncul juga kepercayaan bahwa di alam dewa-dewa juga terdapat susunan kenegaraan serupa. Para dewa pun dikenal dengan dengan stratifikasi dewa-dewa, mulai dari dewa yang tertinggi sampai pada dewa yang paling rendah. Susunan masyarakat dewa itu lambat laun menimbulkan kesadaran baru bahwa semua dewa itu pada hakikatnya merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi itu. Akibatnya, berkembanglah kepercayaan pada satu Tuhan, yaitu Tuhan yang Mahaesa. Dari sinilah timbul agama bertuhan satu atau monotheisme.[3]
b.      Teori Batas Akal
Teori ini menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akalnya. Tokoh teori ini adalah James G, Frazer. Menurutnya, manusia bisa memecahkan berbagai persoalan hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya. Tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya, dan batas akal itu meluas sejalan dengan meluasnya perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu.
Pada mulanya manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Lambat laun terbukti banyak persoalan hidup yang tidak terpecahkan oleh kekuatan gaibnya, bahkan tidak ada hasilnya sama sekali. Oleh karena itu ia mulai percaya bahwa alam ini di diami oleh makhluk - makhluk halus yang lebih berkuasa dari manusia. Maka mereka mulai mencari hubungan yang baik dengan makhluk- makhluk halus tersebut. Dengan demikian, hubungan baik ini menyebabkan manusia mulai mempercayakan nasibnya kepada kekuatan yang lebih daripada dirinya. dari sinilah mulai timbul religi (Agama)[4].
c.       Teori Kekuatan Luar Biasa
Teori ini mengatakan bahwa agama dan sikap religius manusia terjadi karena adanya kejadian luar biasa yang menimpa manusia yang terdapat lingkungan alam sekelilingnya. Tokoh teori ini adalah R .R. Marett.
Antropolog itu menguraikan teorinya diawali dengan satu sanggahan terhadap pendapat Edward. B. Taylor yang menyatakan bahwa timbulnya agama itu karena adanya kesedaran manusia terhadap adanya jiwa. menurut Marett, kesadaran seperti itu terlalu rumit dan terlalu kompleks bagi ukuran pikiran manusia yang baru saja ada pada kehidupan di muka bumi ini. Ia mengajukan teori barunya bahwa pangkal dari segala kelakuan keagamaan pada manusia di timbulkan oleh suatu perasaan rendah diri terhadap adanya gejala- gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupan manusia. Alam tempat gejala- gejala dan peristiwa itu berasal yang dianggap mempunyai kekuatan yang melebihi kekuatan yang telah dikenal manusia di alam sekelilingnya disebut super natural atau kekuatan luar biasa sakti. Kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala- gejala, hal-hal, dan peristiwa yang luar biasa itu dianggap oleh Maret sebagai suatu kepercayaan yang ada pada manusia sebelum mereka percaya kepada makhluk halus atau roh. Dengan perkataan lain, sebelum adanya kepercayaan animisme, manusia mempunyai kepercayaan preanimisme,. Marett menyatakan bahwa preanimisme lebih dikenal dengan sebutan dinamisme[5].
d.      Teori Sentimen Kemasyarakatan
Tokoh teori ini adalah Emile Durkheim. Dia menyatakan bahwa agama ada karena adanya suatu getaran emosi yang timbul dari dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakat. Sentimen kemasyarakatan yang muncul yang muncul dalam batin manusia , pada awalnya berupa perasaan yang kompleks dan memiliki masa dan rasa terikat. Seperti timbul rasa cinta terhadap masyarakatnya yang merupakan tempat berinteraksi dan berkomunikasi di lingkungan ia hidup. Dari gejala seperti inilah menurut teori ini , lambat laun akan membentuk suatu agama.
e.       Teori Revelansi
Tokoh teori ini adalah Andrew Lang. Teori ini menyatakan bahwa kelakuan keagamaan pada manusia itu terjadi karena adanya wahyu dari Tuhan. Teori ini disebut teori Wahyu Tuhan. Bentuk kepercayaan seperti ini menurut Andrew Lang, merupakan bentuk kepercayaan yang sudah tua usianya, bahkan merupakan bentuk agama tertua dalam perjalanan sejarah agama- agama.[6]
Sementara itu, pakar- pakar agama Islam berpendapat bahwa benih agama muncul dari penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Manusia pertama, yang diperintahkan oleh Allah untuk turun ke bumi , diberi pesan agar mengikuti petunjuk-Nya, jika petunjuk tersebut sampai kepadanya (QS 2:38). Petunjuk pertama yang melahirkan agama, menurut mereka, adalah ketika Adam ­­(dalam perjalanannya di bumi ini) menemukan ketiga hal yang disebutkan di atas. Sebagai ilustrasi , dapat diduga bahwa Adam menemukan keindahan pada alam raya, pada bintang yang gemerlapan, kembang yang mekar dan sebagainya. Dan ditemukan kebaikan pada angin sepoi yang menyegarkan di saat ia merasa gerah kepanasan atau pada air yang sejuk di kala ia sedang kehausan. Kemudian, ditemukannya kebenaran dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam raya dan di dalam dirinya sendiri. Gabungan ketiga hal ini melahirkan kesucian. Sang manusia memiliki naluri ingin tahu, berusaha untuk mendapatkan apakah yang paling indah, benar dan baik ? jiwa dan akalnya mengantarkannya bertemu dengan yang Mahasuci dan ketika itu ia berusaha untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan berusaha untuk mencontoh sifat- sifat-Nya. Dari sinilah agama lahir, bahkan dari sini pula dilukiskan proses beragama sebagai “ upaya manusia untuk mencontoh sifat- sifat yang Mahasuci”. Dalam hadits Nabi saw . diperintahkan untuk itu, yaitu “ Takhallaqu bi Akhlaqillah” (berakhlaklah kalian dengan Akhlak Allah)[7].
3.      Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
 kebutuhan manusia terhadap agama dapat disebabkan karena masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan perlunya manusia terhadap agama sebagai kebutuhan. Ada empat faktor yang menyebabkan manusia memerlukan agama. Yaitu:
a)      Faktor Kondisi Manusia
Kondisi manusia terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kedua unsur tersebut harus mendapat perhatian khusus yang seimbang. Unsur jasmani membutuhkan pemenuhan yang bersifat fisik jasmaniah. Kebutuhan tersebut adalah makan-minum, bekerja, istirahat yang seimbang, berolahraga, dan segala aktivitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur rohani membutuhkan pemenuhan yang bersifat psikis (mental) rohaniah. Kebutuhan tersebut adalah pendidikan agama, budi pekerti, kepuasan, kasih sayang, dan segala aktivitas rohani yang seimbang.
Kedua hubungan tersebut sangat erat dalam usaha menciptakan hidup bahagia. Banyak kenyataan yang dapat dilihat, bahwa seorang seseorang secara materiil dipandang mampu, tidak kekurangan apapun, namun karena tidak diimbangi oleh kesiapan mental, maka materiil itu akhirnya harus menjadi beban hidupnya sendiri. Oleh sebab itu, kondisi seperti ini hakikatnya menuntut agar semua agar semua kebutuhan itu dapat dipenuhi, dalam mewujudkan hidup harmonis, bahagia, sejahtera termasuk kebutuhan rohani seseorang, yaitu Agaama.
b)      Faktor Status Manusia
Status manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Jika dibanding dengan makhluk lain, Allah menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kesempurnaan, yaitu kesempurnaan akal dan pikiran, kemuliaan, dan berbagai kelebihan lainnya. Dalam segi rohaniah manusia memiliki aspek rohaniah yang kompleks. Manusia adalah satu-satunya yang mempunyai akal dan manusia pulalah yang mempunyai kata hati. Sehingga dengan kelengkapan itu Allah menempatkan mereka pada permukaan  yang paling atas dalam garis horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya manusia mengakui adanya Allah. Dengan hati nuraninya manusia menyadari bahwa dirinya tidak terlepas dari pengawasan dan ketentuan Allah. Dan dengan agamalah manusia belajar mengenal Tuhan dan agama juga mengajarkan cara berkomunikasi dengan sesamanya, dengan kehidupannya, dan lingkungannya.
c)      Faktor Struktur Dasar Kepribadian
Dalam teori psikoanalisis Sigmun Freud membagi struktur kepribadian manusia dengan tiga bagian. Yaitu:
Ø  Aspek Das es yaitu aspek biologis. Aspek ini merupakan sistem yang orisinal dalam kepribadian manusia yang berkembang secara alami dan menjadi bagian yang subjektif yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia objektif.
Ø  Aspek das ich, yaitu aspek psikis yang timbul karena kebutuhan organisme untuk hubungan baik dengan dunia nyata.
Ø  Aspek das uber ich, aspek sosiologis yang yang mewakili nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat.
Selain faktor yang dimiliki manusia dalam memerlukan agama ada juga alasan mengapa manusia perlu beragama. Dalam buku  yang ditulis Yatimin juga Abudin Nata bahwa ada tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Yaitu:
a.       Fitrah Manusia
Kenyataan manusia memiliki fitrah keagamaan dijelaskan dalam ajaran islam bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Dan di masa akhir-akhir ini muncul beberapa orang yang memerlukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang berada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan itu memang amat sejalan dengan fitrah manusia itu.
Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah insan yang digunakan Al- Qur’an untuk menunjukkan manusia. Manusia (insan) secara fitrah sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal, memahami kebenaran, dan kebaikan yang terpancar dari kebaikan-Nya.
b.      Adanya Nafsu (An-Nafs)
Alasan lain yang melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah karena manusia memiliki berbagai kesempurnaan dan memiliki kekurangan. Quraish Shihab mengatakan, an-nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung dan mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Karena nafsu inilah yang oleh Al- Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian yang lebih besar.
Untuk menjaga kesucian nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama. Disinilah letak kebutuhan manusia terhadap agama.
c.       Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalm dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya- upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan buaya, tenaga dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang didalamnya misi menjauhkan manusia dari Tuhan[8].
 III.            KESIMPULAN
Agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Ikatan itu berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, sebagai fitrah yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya. Kebutuhan manusia terhadap agama memiliki beberapa faktor domonan, yaitu :faktor kondisi manusia, faktor status manusia dan faktor struktur dasar kepribadian manusia.
Agama merupakan peraturan-peraturan yangterdiri dari kepercayaan- kepercayaan dan pekerjaan yang bertaut dengan keadaan- keadaan yang suci. Artinya, agama membedakan mana yng halal dan mana yang haram. Agama dapat membawa manusia menjadi suatu umat yang mempunyai kesatuan dan persamaan derajat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Yatimin , Studi Islam Kontemporer, Jakarta : AMZAH,2006
 Ahmad , Dadang, Sosiologi Agama, Bandung : PT Remaja Rosdakarya,2002
Shihab, M.Quraisy, “MembumikanAl-Qur’an, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007
Yusuf , Ali Anwar, Studi Agama Islam, Bandung : CV Pustaka Setia, 2003



[1] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2003), hlm 17-18
[2] Ibid, hlm. 19
[3] Dadang Ahmad, Sosiologi Agama, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,2002) hlm.24-26
[4] Ibid, hlm.26
[5] Ibid, hlm 28
[6] Ali Amwar Yusuf, Opcit, hlm 22-23
[7] M.Quraisy Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007) hlm. 325-326
[8] M.Yatimin.Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta : AMZAH,2006) hlm 42-44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar