welcome

berkaryalah, sekecil apapun itu!!!
101211064

Sabtu, 24 November 2012

Pemikiran Gender Para Feminis Islam



Belakangan ini, diskursus tentang gender sering dibicarakan di masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa kepedulian persoalan ini telah menjadi kepentingan masyarakat secara umum. Namun, kadangkala terjadi kerancuan dalam memahami istilah gender dan jenis kelamin, bahkan yang paling menyesatkan adalah ketika istilah gender dipahami sebagai jenis kelamin perempuan. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa istilah gender sangat berbeda dengan jenis kelamin (seks).
Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan biologis hormonal dan patologis antara perempuan dan laki-laki, contohnya: laki-laki memiliki penis, testis, dan sperma; sedangkan perempuan memiliki vagina, payudara, ovum, dan rahim. Perbedaan inilah yang kemudian disebut dengan kodrat. Sedangkan gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat konstruksi budaya atau lingkungan masyarakat tertentu. Dengan kata lain, gender adalah sebuah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya yang dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman.
Banyak contoh di masyarakat mengenai terjadinya ketidakadilan gender terhadap posisi perempuan. Perempuan sering menjadi korban kekerasan karenadianggap sebagai makhluk yang lemah, makhluk kelas dua, sebagai tempat melepaskan hasrat seksual, serta makhluk yang tidak bisa berpikir rasional. Oleh karena itu, posisi perempuan selaluberada di bawah laki-laki. Jika dia ingin bekerja, maka pekerjaannya selalu yang berkaitan dengan hal-hal yang ringan, yang tidak membutuhkan kekuatan dan rasio,Begitu juga dalam rumah tangga, perempuan diserahi beban berat. Dengan demikian, perempuan mengalami dua bentuk ketidakadilan gender, yaitu eksploitasi ruang domestik dan diskriminasi ruang publik.
Dalam konteks itu, persoalan penting yang perlu mendapat jawaban adalah bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam tentang hak-hak dasar perempuan? Sangat tidak masuk akal jika Islam bersikap eksploratif dan diskriminatif terhadap perempuan. Untuk itu, pemakalah mencoba menghadirkan pemikiran beberapa tokoh feminis Islam.
A.    HUBUNGAN GENDER DENGAN FEMINIS
Pembicaraan tentang gender sangat berkaitan dengan persoalan feminisme. Terma femenisme berasal dari bahasa latin “femina” yang artinya memiliki sifat keperempuanan. Ide feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki dalam masyarakat. Akibat persepsi ini, timbullah berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang,sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being). Demikian, Aida Fitalaya memberikan ilustrasinya berkaitan dengan awal munculnya ide feminisme.[1]
Dari ilustrasi di atas, Aida melihat bahwa feminisme lebih tepat dipandang sebagai gerakan atau aksi dibanding sebagai fanatisme keyakinan. Menurut Ratna Megawangi, gerakan feminisme dapat diartikansebagai sebuah sudut pandang atau gaya hidup yang mempunyai akar sejarah yang berbeda.Mulai dari abad XIX sampai awal abad XX di Amerika, gerakan feminisme difokuskan pada satu isu,yaitu mendapatkan hak untuk memilih (the right to vote). Kemudian pada tahun 1960-an, muncul gerakan feminisme liberal dengan momentum yang baru. Isu yang mereka lontarkan adalah gender, yang fokus utamanya kontra ideologis terhadap peran domestik perempuan. Gerakan ini didukung oleh suasana kultur yang kondusif, seperti budaya materialis, liberalis, dan individualis.
Dari sana, kemudian muncullah berbagai macam gerakan feminisme sesuai dengan kultur yang berkembang, tiga di antaranya, yang cukup popular adalah gerakan feminisme liberal, feminisme radikal,dan feminisme sosial. Gerakan feminisme liberal mendasarkan pahamnya pada prinsip-prinsip liberalisme yang percaya bahwa tujuan utama dari kehidupan bermasyarakat adalah kebebasan individu. Sementara itu, gerakan feminisme radikal mendasarkan pahamnya pada strukturalisme politik yang memandang bahwa hubungan antara manusia atau antar kelompok manusia, pada dasarnya, merupakan hubungan saling menguasai dan mengendalikan. Lain lagi halnya dengan gerakan femenisme sosial, yang mendapatkan fahamnya dari teori materialisme warna Marxis, tampaknya percaya bahwa akar persoalan dominasi seksual terletak pada dinamika kelamin. Meskipun ketiga gerakan tersebut berbeda kerangka epistemologinya, tetapi secara garis besarnya bermuara pada satu tujuan, yaitu menghilangkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan memberikan kebebasan kepada perempuan secara utuh.
Berbeda dengan tiga gerakan femenisme di atas, gerakan femenisme Islam tampil dengan format yang lain, yang dasarnya mengacu kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Sementara itu, tujuan yang hendak mereka capai adalah mengoptimalkan potensi dan kemampuan perempuan sesuai dengan kodrat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya. Terlihat di sini bahwa tujuan utama dari gerakan femenisme Islam adalah untuk menempatkan posisi perempuan menjadi mitra sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan tanpa menghilangkan kodrat keperempuanannya.
Menurut Yunahar Ilyas, ada dua kriteria seseorang itu bisa diklasifikasikan kepada kelompok feminis muslim: (1) mereka memiliki kesadaran gender dan memperjuangkan ketidakadilan gender,yang menimpa kaum perempuan sebagaimana menjadi benang merah yang mengikat mereka dengan gerakan feminisme, (2) mereka beragama Islam atau paling tidak datang dari lingkungan dunia Islam dan mempersoalkan ajaran Islam, baik dari sisi normativitas atau historisitas.[2]

B.     PEMIKIRAN FEMINIS MUSLIM TENTANG PEREMPUAN.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa pemikiran para tokoh Islam yang digolongkan ke dalam kelompok feminis Muslim terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan (relasi gender) dalam berbagai bidang kehidupan mereka. Pemikiran hukum Islam dari para feminis Muslim ini bisa disebut juga sebagai pemikiran hukum Islam yang berperspektif gender. Artinya pemikiran ini tidak menunjukkan adanya dominasi salah satu jenis kelamin (seperti laki-laki) atas jenis kelamin lainnya (yakni perempuan), sehingga akan memunculkan ketidakadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan.

1.      Qosim Amin
            Qasim Amin adalah salah satu tokoh feminis Muslim yang pertama kali memunculkan gagasan tentang emansipasi perempuan Muslim melalui karya-karyanya. lahirkan di Tarah, Iskandariah (Mesir), Desember 1865. Qasim dapat menyelesaikan pendidikan tingginya dalam waktu yang relatif singkat. Di antara guru yang dikaguminya di Al-Azhar adalah Muhammad Abduh. Pola berpikir kritis banyak diperolehnya dari guru favoritnya itu. Karena kecerdasannya, Qasim Amin kemudian mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Montpellier di Paris Perancis. Sekembalinya ke Mesir, Qasim Amin bekerja pada Dewan Perwakilan Rakyat dan pada sebuah lembaga hukum. Ia menetap di Kairo hingga wafatnya 22 April 1908. Di antara karya-karyanya yang banyak menggugah semangat perempuan untuk bangkit adalah Tahrir al-Mar’ah(1900) dan al-Mar’ah al-Jadidah (1911). Dua karya inilah yang kemudian banyak memberi inspirasi kepada para feminis Muslim untuk memperjuangkan kebebasan untuk perempuan setelahnya hingga sekarang.
            Qasim Amin memunculkan gagasannya didasari oleh keterbelakangan umat Islam yang menurutnya disebabkan salah satunya oleh persepsi dan perlakuan yang salah terhadap perempuan. Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus dikalangan ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum perempuan sehingga mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring manusia untuk maju dan bergerak pada kebahagiaan.
            Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan perempuan sederajat dengan laki - laki dalam hal tanggung jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya. Jika perempuan melakukan tindak kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak begitu saja membebaskannya atau  merekomendasikan pengurangan hukuman padanya. Qasim meyakini, tidaklah masuk akal menganggap perempuan memiliki rasionalitas yang sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan, sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas perempuan ketika kebebasannya dirampas.
            Kebebasan umum bahwa kebebasan kaum perempuan akan membahayakan kesucian mereka, menurut Qasim Amin, tidak berdasarkan pada kenyataan yang kuat. Pengalaman mengindikasikan bahwa kebebasan perempuan bisa menambah pengertian akan tanggung jawab dan kehormatan dirinya, dan mendorong orang-orang untuk menghormatinya. Untuk memperkuat analisisnya, Qasim Amin menyajikan data statistik bahwa kaum perempuan di Barat (Jerman, Belgia, Perancis, dan Belanda) banyak memperdaya suami mereka.
            Di samping menganjurkan kebebasan bagi perempuan, Qasim Amin juga mengecam tradisi pemingitan terhadap perempuan pada waktu itu. Agar kaum perempuan tidak mengalami pemingitan, maka, menurut Qasim Amin, mereka harus mendapatkan pendidikan yang memadai seperti halnya laki-laki. Ia kurang setuju jika perempuan diberikan pendidikan yang khusus yang berbeda dengan pendidikan yang diberikan kepada laki-laki.
            Qasim Amin menegaskan bahwa separuh dari penduduk dunia adalah kaum perempuan. Karena itu, membiarkan mereka dalam kebodohan berarti membiarkan potensi separuh bangsa tanpa manfaat. Qasim Amin sangat terpesona dengan masyarakat Barat (Eropa) yang pada waktu itu sudah sangat maju dan tidak membeda-bedakan perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh kesempatan meraih pendidikan yang baik.[3]



2.      Amina Wadud Muhsin
Amina Wadud Muhsin adalah salah satu pemikir feminis kelahiran Malaysia. Dia menamatkan studinya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Malaysia. Dia menamatkan sarjananya dari Universitas Antar Bangsa, masternya dari University of Michigan Amerika Serikat tahun 1989, dan doktornya dari Harvard University tahun1991-1993. Sekarang ia tinggal di Amerika Serikat menjabat salah satu guru besar di Departemen Filsafat dan Studi Agama pada Universitas Commenwelth di Virginia. Amina pernah membuat geger para ulama dunia, termasuk Syeikh Yusuf al-Qardawi, ketika ia menjadi khathib dan imam shalat Jum’at di New York City tanggal 18 Maret 2005. Belum lama ini juga terbit buku Amina yang berjudul Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (2006).
Dalam bukunya Qur’an and Woman, Amina mengawali pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu tradisional, reaktif, dan holistik. Tafsir tradisional, menurut Amina, memberikan interpretasi-interpretasi tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya yang bisa bersifat hukum, tasawuf, gramatik, retorik, atau historis. Metodologi yang digunakan bersifat atomistik, yaitu penafsiran dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan yang tertulis. Yang ditekankan oleh Amina bahwa tafsir-tafsir tradisional itu ditulis oleh kaum laki-laki secara eksklusif. Itulah sebabnya maka hanya laki-laki dan pengalaman laki-laki saja yang direkomendasikan dalam tafsir itu. Sedang perempuan-berikut pengalaman, visi, perspektif, keinginan, atau kebutuhannya - ditundukkan pada pandangan laki-laki.
Kategori kedua adalah tafsir yang isinya terutama mengenai reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah besar hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari Alquran. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, namun tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap Alquran. Dengan demikian meskipun semangat yang dibawa adalah pembebasan, namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber ideologi dan teologi Islam, yaitu Alquran . Kategori ketiga adalah tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, dan politik, termasuk isu tentang perempuan pada era modern ini. Menurut Amina, tafsir model ini merupakan metode terbaik. Dalam kategori inilah Amina menempatkan karyanya.
Metode penafsiran yang digunakan Amina adalah metode yang pernah ditawarkanoleh Fazlur Rahman, yaitu metode neomodernis. Rahman berpendapat bahwa ayat-ayat Alquran yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah - dengan keadaan yang umum dan khusus yang menyertainya - menggunakan ungkapan yang relatif mengenai situasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, pesan Alquran tidak bisa dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja. Seorang sahabat yang membaca Alquran harus memahami implikasi-implikasi dari pernyataan-pernyataan Alquran pada waktu diwahyukan untuk menentukan makna yang dikandungnya. Di sisi lain, generasi Islam selanjutnya, yang situasi dan kondisinya berbeda dengan masa Rasulullah, harus tetap membuat aplikasi praktis dari pernyatan-pernyataan Alquran yang tetap mempertimbangkan makna utama yang dikandungnya.
Dengan argumen ini, Amina yakin bahwa dalam usaha memelihara relevansinya dengan kehidupan manusia, Alquran harus terus-menerus ditafsirkan ulang. Pembahasan Amina mengenai kedudukan perempuan dalam buku tersebut cukup ringkas dan terkesan simpel. Namun, dalam buku tersebut ia menonjolkan semangat egalitarianisme. Ia tidak menganggap matriarkisme adalah alternatif bagi patriarkisme yang selama ini dituding sebagai penyebab ketersudutan perempuan. Ia menginginkan suatu keadilan dan kerja sama antara kedua jenis kelamin tidak hanya pada tataran makro (negara, masyarakat), tetapi juga sampai ke tingkat mikro (keluarga).[4]

3.      Riffat Hasan
Riffat Hasan, Feminis Muslim kelahiran Lahore, Pakistan. Mendapat gelar Ph.D. bidang Filsafat Islam di University of Durham, Inggris. Sejak tahun 1976 tinggal di Amerika Serikat, menjabat sebagai ketua program studi keagamaan di University of Luisville, Kentucky. Tahun 1986-1987 menjadi dosen tamu di Divinity School Harvard University, dimana ia menulis bukunya yang berjudul Equal Before Allah. Sejak tahun 1974 ia mempelajari teks Al- Qur’an secara seksama dan melakukan interpretasi terhadap ayat- ayat Al- Qur’an khususnya yang berhubungann dengan persoalan perempuan. Ia memberikan sumbangan besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.
Menurut Riffat Hasan, diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan dalam lingkungan umat islam berakar dari pemahaman yang keliru dan bias laki- laki terhadap sumber utama ajaran Islam yaitu kita suci Al-Qur’an. Oleh sebab itu, ia menyerukan dan melangkah kesana untuk melakukan dekonstruksi pemikiran teologis tentang perempuan, terutama mengenai konsep penciptaan Hawa sebagai perempuan pertama.[5]
Riffat Hasan tidak hanya menolak dengan keras pandangan para mufassir bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tapi juga mempertanyakan kenapa dipastikan nafs wahidah itu adam zaujaha itu Hawa, istrinya. Padahal, menurut Riffat Hasan, kata nafs dalam bahasa arab itu menunjuk kepada laki- laki atau perempuan, tapi bersifat netral, bisa laki- laki dan bisa perempuan. Begitu juga jauz, tidak dapat secara otomatis diartikan istri karena itu netral, artinya pasangan yang bisa laki- laki dan perempuan.
Al-Qur’an, menurut Riffat tidak menyatakan bahwa Adam manusia pertama dan tidak pula menyatakan bahwa Adam laki- laki.  Adam adalah kata benda maskulin, hanya secara linguistik, bukan menyangkut jenis kelamin. Riffat pun tidak memastikan bahwa Adam itu perempuan, tapi menolak dengan tegas kalau Adam harus laki- laki. Bagi dia, istilah Adam sama dengan basyar, al- insan dan an- nas yang menunjukkan manusia, bukan jenis kelamin.
Jadi, menurut Riffat, Adam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula caranya. Bukan Adam diciptakan dulu dari tanah, kemudian Hawa dari tulang rusuk Adam seperti pemikiran para mufassir dan hampir keseluruhan umat Islam.[6]

4.      Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer dilahirkan di Rajasthan (dekat Udaipur, India) tahun 1939. Ia mendapatkan gelar doktor dalam bidang teknik sipil  dari Vikram University (Ujjain, India) [7].Salah satu buku karyanya yang secara jelas bahwa dia seorang feminis yang mencoba menggugat penafsiran yang telah ada tentang hak- hak perempuan dalam Islam adalah the Right of Women in Islam, diterbitkan tahun 1992 di London. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inonesia oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf dengan judul Hak- hak Perempuan dalam Islam.[8]
            Di awal tulisannya Asghar mengatakan, demi mengekalkan kekuasaan atas perempuan, masyarakat seringkali mengekang norma-norma adil dan egaliter yang ada dalam al-Qur’an . Asghar juga mengatakan bahwa Alquran
merupakan kitab suci pertama yang memberikan martabat kepada kaum perempuan sebagai manusia di saat mereka dilecehkan oleh peradaban besar seperti Bizantium dan Sassanid. Menurutnya, kitab suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan dalam masalah perkawinan, perceraian, kekayaan, dan warisan .
Berkaitan dengan perempuan, Asghar menganggap bahwa meskipun Alquran memuliakan perempuan setara dengan laki-laki, namun semangat itu ditundukkan oleh patriarkisme yang telah mendarah daging dalam kehidupan berbagai masyarakat, termasuk kaum Muslim. Meskipun secara normatif dapat diketahui bahwa Alquran memihak kepada kesetaraan status antara kedua jenis kelamin, secara kontekstual al-Qur’an mengakui adanya kelebihan laki-laki di bidang tertentu dibanding perempuan. Namun, dengan mengabaikan konteksnya,  fuqaha` (jamak dari  fāqih) berusaha memberikan status lebih unggul bagi laki-laki . Dalam proses pembentukan syariah, ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah perempuan sering ditafsirkan sesuai dengan prasangka-prasangka yang  diidap oleh banga Arab dan non Arab pra Islam – yakni peradaban Hellenisme dan Sassanid – mengenai perempuan. Dengan demikian, interpretasi terhadap ayat-ayat Alquran sangat tergantung pada sudut pandang dan posisi apriori yang diambil penafsirnya.
Mengenai ayat Alquran “al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’” (QS. al-Nisa’ (4): 34) Asghar mengatakan, kata  qawwam dalam ayat itu berarti pemberi nafkah dan pengatur urusan keluarga, dan Alquran tidak mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwām. Menurutnya, jika Allah memaksudkan ayat tersebut sebagai sebuah pernyataan normatif, maka pastilah hal itu akan mengikat semua perempuan di semua zaman dalam semua keadaan. Namun, Allah tidak menghendaki hal tersebut. Untuk menguatkannya Asghar mengutip pendapat-pendapat dari beberapa pakar seperti Parvez, seorang penafsir Alquran terkemuka dari Pakistan, Maulana Azad, pelopor hak-hak perempuan, dan Maulana Umar Ahmad Usmani yang pada prinsipnya mengatakan bahwa Allah tidak melebihkan laki-laki atas perempuan. Dari penjelasan di atas, tampaknya Asghar ingin mengatakan bahwa dalam khazanah tafsir, khususnya yang berkaitan dengan masalah perempuan, sebenarnya ada pendapat-pendapat yang bersikap empati atau pro-perempuan. Meskipun harus diakui, pendapat yang demikian kalah populer dibanding dengan pendapat-pendapat lain yang misoginis. Atas dasar empati inilah Asghar mencoba menunjukkan alternatif tafsiran atas beberapa ayat Alquran yang selama ini digunakan untuk mengekalkan subordinasi perempuan, yakni berkaitan dengan perceraian, perkawinan, hak waris, kesaksian, dan hak ekonomis.[9]
DAFTAR PUSTAKA


Aida Fitalaya, S. Hubies, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan, dalam          “Membincangkan Feminisme ”, Dadang S. Anshori dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah)
Irsyadunnas, PROLOG ISLAM DAN GENDER : Penafsiran Feminis Terhadap Hak- Hak            Perempuan dalam Islam dari Seorang TokohFeminis Muslim Fatima Mernissi, dalam “Jurnal Studi Gender dan Anak”,Purwokerto : Yinyang, 2009
Marzuki, Perempuan dalam Pandangan Feminis Muslim, hal 6-8. http :// staff.uny.ac.id.   diakses 08/11/2012 pukul 13:45
Nasaruddin, Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakata :     Paramadina,2001
Yunahar, Ilyas, FEMINISME dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer,      Yogyakarta : Pustak Pelajar, 1997




[1]Aida Fitalaya, S. Hubies, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan, dalam “Membincangkan Feminisme ”, Dadang S. Anshori dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah).hal 19.
[2] Irsyadunnas, PROLOG ISLAM DAN GENDER : Penafsiran Feminis Terhadap Hak- Hak Perempuan dalam Islam dari Seorang TokohFeminis Muslim Fatima Mernissi, dalam “Jurnal Studi Gender dan Anak”,Purwokerto : Yinyang, 2009 , hal 2-3.
[3] Marzuki, Perempuan dalam Pandangan Feminis Muslim, hal 6-8. http :// staff.uny.ac.id. diakses 08/11/2012 pukul 13:45
[4] Ibid, 8-10
[5] Yunahar, Ilyas, FEMINISME dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta : Pustak Pelajar, 1997. Hal 58-59
[6] Ibid,
[7] Marzuki, Op Cit, hal. 13
[8] Yunahar, Ilyas, Op Cit, hal. 57
[9]  Marzuki, Op Cit, h. 14-15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar