Belakangan ini, diskursus tentang gender sering dibicarakan di
masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa kepedulian persoalan ini telah
menjadi kepentingan masyarakat secara umum. Namun, kadangkala terjadi kerancuan
dalam memahami istilah gender dan jenis kelamin, bahkan yang paling menyesatkan
adalah ketika istilah gender dipahami sebagai jenis kelamin perempuan. Oleh
karena itu, perlu ditegaskan bahwa istilah gender sangat berbeda dengan jenis
kelamin (seks).
Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan biologis hormonal dan
patologis antara perempuan dan laki-laki, contohnya: laki-laki memiliki penis,
testis, dan sperma; sedangkan perempuan memiliki vagina, payudara, ovum, dan
rahim. Perbedaan inilah yang kemudian disebut dengan kodrat. Sedangkan gender
adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang
melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat konstruksi budaya atau
lingkungan masyarakat tertentu. Dengan kata lain, gender adalah sebuah konsep
yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
sebagai hasil konstruksi sosial budaya yang dapat berubah sesuai dengan
perubahan zaman.
Banyak contoh di masyarakat mengenai terjadinya ketidakadilan
gender terhadap posisi perempuan. Perempuan sering menjadi korban kekerasan karenadianggap
sebagai makhluk yang lemah, makhluk kelas dua, sebagai tempat melepaskan hasrat
seksual, serta makhluk yang tidak bisa berpikir rasional. Oleh karena itu,
posisi perempuan selaluberada di bawah laki-laki. Jika dia ingin bekerja, maka
pekerjaannya selalu yang berkaitan dengan hal-hal yang ringan, yang tidak
membutuhkan kekuatan dan rasio,Begitu juga dalam rumah tangga, perempuan
diserahi beban berat. Dengan demikian, perempuan mengalami dua bentuk
ketidakadilan gender, yaitu eksploitasi ruang domestik dan diskriminasi ruang
publik.
Dalam konteks itu, persoalan penting yang perlu mendapat jawaban
adalah bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam tentang hak-hak dasar perempuan?
Sangat tidak masuk akal jika Islam bersikap eksploratif dan diskriminatif terhadap
perempuan. Untuk itu, pemakalah mencoba menghadirkan pemikiran beberapa tokoh
feminis Islam.
A.
HUBUNGAN GENDER DENGAN FEMINIS
Pembicaraan
tentang gender sangat berkaitan dengan persoalan feminisme. Terma femenisme berasal
dari bahasa latin “femina” yang artinya memiliki sifat keperempuanan.
Ide feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan
dibanding laki-laki dalam masyarakat. Akibat persepsi ini, timbullah berbagai
upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan
menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala
bidang,sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being).
Demikian, Aida Fitalaya memberikan ilustrasinya berkaitan dengan awal munculnya
ide feminisme.[1]
Dari
ilustrasi di atas, Aida melihat bahwa feminisme lebih tepat dipandang sebagai
gerakan atau aksi dibanding sebagai fanatisme keyakinan. Menurut Ratna
Megawangi, gerakan feminisme dapat diartikansebagai sebuah sudut pandang atau
gaya hidup yang mempunyai akar sejarah yang berbeda.Mulai dari abad XIX sampai
awal abad XX di Amerika, gerakan feminisme difokuskan pada satu isu,yaitu
mendapatkan hak untuk memilih (the right to vote). Kemudian pada tahun
1960-an, muncul gerakan feminisme liberal dengan momentum yang baru. Isu yang
mereka lontarkan adalah gender, yang fokus utamanya kontra ideologis terhadap
peran domestik perempuan. Gerakan ini didukung oleh suasana kultur yang kondusif,
seperti budaya materialis, liberalis, dan individualis.
Dari
sana, kemudian muncullah berbagai macam gerakan feminisme sesuai dengan kultur
yang berkembang, tiga di antaranya, yang cukup popular adalah gerakan feminisme
liberal, feminisme radikal,dan feminisme sosial. Gerakan feminisme liberal
mendasarkan pahamnya pada prinsip-prinsip liberalisme yang percaya bahwa tujuan
utama dari kehidupan bermasyarakat adalah kebebasan individu. Sementara itu,
gerakan feminisme radikal mendasarkan pahamnya pada strukturalisme politik yang
memandang bahwa hubungan antara manusia atau antar kelompok manusia, pada
dasarnya, merupakan hubungan saling menguasai dan mengendalikan. Lain lagi
halnya dengan gerakan femenisme sosial, yang mendapatkan fahamnya dari teori
materialisme warna Marxis, tampaknya percaya bahwa akar persoalan dominasi
seksual terletak pada dinamika kelamin. Meskipun ketiga gerakan tersebut
berbeda kerangka epistemologinya, tetapi secara garis besarnya bermuara pada
satu tujuan, yaitu menghilangkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan
memberikan kebebasan kepada perempuan secara utuh.
Berbeda
dengan tiga gerakan femenisme di atas, gerakan femenisme Islam tampil dengan
format yang lain, yang dasarnya mengacu kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu
al-Qur’an dan Hadis. Sementara itu, tujuan yang hendak mereka capai adalah
mengoptimalkan potensi dan kemampuan perempuan sesuai dengan kodrat yang telah
diberikan Allah SWT kepadanya. Terlihat di sini bahwa tujuan utama dari gerakan
femenisme Islam adalah untuk menempatkan posisi perempuan menjadi mitra sejajar
dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan tanpa menghilangkan kodrat keperempuanannya.
Menurut
Yunahar Ilyas, ada dua kriteria seseorang itu bisa diklasifikasikan kepada
kelompok feminis muslim: (1) mereka memiliki kesadaran gender dan
memperjuangkan ketidakadilan gender,yang
menimpa kaum perempuan sebagaimana menjadi benang merah yang mengikat mereka
dengan gerakan feminisme, (2) mereka beragama Islam atau paling tidak datang
dari lingkungan dunia Islam dan mempersoalkan ajaran Islam, baik dari sisi
normativitas atau historisitas.[2]
B.
PEMIKIRAN FEMINIS MUSLIM TENTANG PEREMPUAN.
Berikut ini akan
dijelaskan beberapa pemikiran para tokoh Islam yang digolongkan ke dalam
kelompok feminis Muslim terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan (relasi
gender) dalam berbagai bidang kehidupan mereka. Pemikiran hukum Islam dari para
feminis Muslim ini bisa disebut juga sebagai pemikiran hukum Islam yang berperspektif
gender. Artinya pemikiran ini tidak menunjukkan adanya dominasi salah satu
jenis kelamin (seperti laki-laki) atas jenis kelamin lainnya (yakni perempuan),
sehingga akan memunculkan ketidakadilan gender dalam relasi laki-laki dan
perempuan.
1. Qosim Amin
Qasim Amin
adalah salah satu tokoh feminis Muslim yang pertama kali memunculkan gagasan
tentang emansipasi perempuan Muslim melalui karya-karyanya. lahirkan di Tarah, Iskandariah
(Mesir), Desember 1865. Qasim dapat menyelesaikan pendidikan tingginya dalam
waktu yang relatif singkat. Di antara guru yang dikaguminya di Al-Azhar adalah
Muhammad Abduh. Pola berpikir kritis banyak diperolehnya dari guru favoritnya
itu. Karena kecerdasannya, Qasim Amin kemudian mendapat kesempatan untuk
melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Montpellier di Paris Perancis.
Sekembalinya ke Mesir, Qasim Amin bekerja pada Dewan Perwakilan Rakyat dan pada
sebuah lembaga hukum. Ia menetap di Kairo hingga wafatnya 22 April 1908. Di
antara karya-karyanya yang banyak menggugah semangat perempuan untuk bangkit
adalah Tahrir al-Mar’ah(1900) dan al-Mar’ah al-Jadidah (1911).
Dua karya inilah yang kemudian banyak memberi inspirasi kepada para feminis
Muslim untuk memperjuangkan kebebasan untuk perempuan setelahnya hingga
sekarang.
Qasim Amin memunculkan gagasannya
didasari oleh keterbelakangan umat Islam yang menurutnya disebabkan salah
satunya oleh persepsi dan perlakuan yang salah terhadap perempuan. Gagasan
Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus dikalangan ulama
Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari
para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi
bertujuan untuk membebaskan kaum perempuan sehingga mereka memiliki keleluasaan
dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran
Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring
manusia untuk maju dan bergerak pada kebahagiaan.
Menurut Qasim Amin, syari’ah
menempatkan perempuan sederajat dengan laki - laki dalam hal tanggung jawabnya
di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya. Jika perempuan melakukan tindak
kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak begitu saja membebaskannya atau merekomendasikan pengurangan hukuman padanya.
Qasim meyakini, tidaklah masuk akal menganggap perempuan memiliki rasionalitas
yang sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan,
sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas perempuan ketika kebebasannya
dirampas.
Kebebasan umum bahwa kebebasan kaum
perempuan akan membahayakan kesucian mereka, menurut Qasim Amin, tidak
berdasarkan pada kenyataan yang kuat. Pengalaman mengindikasikan bahwa
kebebasan perempuan bisa menambah pengertian akan tanggung jawab dan kehormatan
dirinya, dan mendorong orang-orang untuk menghormatinya. Untuk memperkuat
analisisnya, Qasim Amin menyajikan data statistik bahwa kaum perempuan di Barat
(Jerman, Belgia, Perancis, dan Belanda) banyak memperdaya suami mereka.
Di samping menganjurkan kebebasan
bagi perempuan, Qasim Amin juga mengecam tradisi pemingitan terhadap perempuan
pada waktu itu. Agar kaum perempuan tidak mengalami pemingitan, maka, menurut
Qasim Amin, mereka harus mendapatkan pendidikan yang memadai seperti halnya
laki-laki. Ia kurang setuju jika perempuan diberikan pendidikan yang khusus
yang berbeda dengan pendidikan yang diberikan kepada laki-laki.
Qasim Amin menegaskan bahwa separuh
dari penduduk dunia adalah kaum perempuan. Karena itu, membiarkan mereka dalam
kebodohan berarti membiarkan potensi separuh bangsa tanpa manfaat. Qasim Amin
sangat terpesona dengan masyarakat Barat (Eropa) yang pada waktu itu sudah
sangat maju dan tidak membeda-bedakan perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh
kesempatan meraih pendidikan yang baik.[3]
2. Amina Wadud Muhsin
Amina
Wadud Muhsin adalah salah satu pemikir feminis kelahiran Malaysia. Dia menamatkan
studinya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Malaysia. Dia menamatkan
sarjananya dari Universitas Antar Bangsa, masternya dari University of Michigan
Amerika Serikat tahun 1989, dan doktornya dari Harvard University
tahun1991-1993. Sekarang ia tinggal di Amerika Serikat menjabat salah satu guru
besar di Departemen Filsafat dan Studi Agama pada Universitas Commenwelth di
Virginia. Amina pernah membuat geger para ulama dunia, termasuk Syeikh Yusuf
al-Qardawi, ketika ia menjadi khathib dan imam shalat Jum’at di New York City
tanggal 18 Maret 2005. Belum lama ini juga terbit buku Amina yang berjudul Inside
the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (2006).
Dalam
bukunya Qur’an and Woman, Amina mengawali pembahasannya dengan mengritik
penafsiran-penafsiran yang selama ini ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia
membagi penafsiran tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu tradisional, reaktif,
dan holistik. Tafsir tradisional, menurut Amina, memberikan interpretasi-interpretasi
tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya yang bisa bersifat
hukum, tasawuf, gramatik, retorik, atau historis. Metodologi yang digunakan
bersifat atomistik, yaitu penafsiran dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara
berurutan. Tidak ada upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat
sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan yang tertulis. Yang ditekankan oleh Amina
bahwa tafsir-tafsir tradisional itu ditulis oleh kaum laki-laki secara
eksklusif. Itulah sebabnya maka hanya laki-laki dan pengalaman laki-laki saja
yang direkomendasikan dalam tafsir itu. Sedang perempuan-berikut pengalaman,
visi, perspektif, keinginan, atau kebutuhannya - ditundukkan pada pandangan
laki-laki.
Kategori
kedua adalah tafsir yang isinya terutama mengenai reaksi para pemikir modern
terhadap sejumlah besar hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal
dari Alquran. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal
dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, namun tanpa dibarengi analisis yang komprehensif
terhadap Alquran. Dengan demikian meskipun semangat yang dibawa adalah
pembebasan, namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber ideologi dan teologi
Islam, yaitu Alquran . Kategori ketiga adalah tafsir yang menggunakan seluruh
metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral,
ekonomi, dan politik, termasuk isu tentang perempuan pada era modern ini. Menurut
Amina, tafsir model ini merupakan metode terbaik. Dalam kategori inilah Amina
menempatkan karyanya.
Metode
penafsiran yang digunakan Amina adalah metode yang pernah ditawarkanoleh Fazlur
Rahman, yaitu metode neomodernis. Rahman berpendapat bahwa ayat-ayat Alquran
yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah - dengan keadaan yang umum
dan khusus yang menyertainya - menggunakan ungkapan yang relatif mengenai
situasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, pesan Alquran tidak bisa dibatasi
oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja. Seorang sahabat yang membaca
Alquran harus memahami implikasi-implikasi dari pernyataan-pernyataan Alquran
pada waktu diwahyukan untuk menentukan makna yang dikandungnya. Di sisi lain,
generasi Islam selanjutnya, yang situasi dan kondisinya berbeda dengan masa
Rasulullah, harus tetap membuat aplikasi praktis dari pernyatan-pernyataan
Alquran yang tetap mempertimbangkan makna utama yang dikandungnya.
Dengan
argumen ini, Amina yakin bahwa dalam usaha memelihara relevansinya dengan
kehidupan manusia, Alquran harus terus-menerus ditafsirkan ulang. Pembahasan
Amina mengenai kedudukan perempuan dalam buku tersebut cukup ringkas dan
terkesan simpel. Namun, dalam buku tersebut ia menonjolkan semangat
egalitarianisme. Ia tidak menganggap matriarkisme adalah alternatif bagi
patriarkisme yang selama ini dituding sebagai penyebab ketersudutan perempuan.
Ia menginginkan suatu keadilan dan kerja sama antara kedua jenis kelamin tidak
hanya pada tataran makro (negara, masyarakat), tetapi juga sampai ke tingkat
mikro (keluarga).[4]
3.
Riffat
Hasan
Riffat Hasan, Feminis
Muslim kelahiran Lahore, Pakistan. Mendapat gelar Ph.D. bidang Filsafat Islam
di University of Durham, Inggris. Sejak tahun 1976 tinggal di Amerika
Serikat, menjabat sebagai ketua program studi keagamaan di University of
Luisville, Kentucky. Tahun 1986-1987 menjadi dosen tamu di Divinity School
Harvard University, dimana ia menulis bukunya yang berjudul Equal Before
Allah. Sejak tahun 1974 ia mempelajari teks Al- Qur’an secara seksama dan
melakukan interpretasi terhadap ayat- ayat Al- Qur’an khususnya yang
berhubungann dengan persoalan perempuan. Ia memberikan sumbangan besar terhadap
gerakan perempuan di Pakistan.
Menurut Riffat Hasan,
diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan gender yang menimpa kaum
perempuan dalam lingkungan umat islam berakar dari pemahaman yang keliru dan
bias laki- laki terhadap sumber utama ajaran Islam yaitu kita suci Al-Qur’an.
Oleh sebab itu, ia menyerukan dan melangkah kesana untuk melakukan dekonstruksi
pemikiran teologis tentang perempuan, terutama mengenai konsep penciptaan Hawa
sebagai perempuan pertama.[5]
Riffat Hasan tidak
hanya menolak dengan keras pandangan para mufassir bahwa Hawa diciptakan dari
tulang rusuk Adam, tapi juga mempertanyakan kenapa dipastikan nafs
wahidah itu adam zaujaha itu Hawa, istrinya. Padahal, menurut Riffat
Hasan, kata nafs dalam bahasa arab itu menunjuk kepada laki- laki atau
perempuan, tapi bersifat netral, bisa laki- laki dan bisa perempuan. Begitu
juga jauz, tidak dapat secara otomatis diartikan istri karena itu netral,
artinya pasangan yang bisa laki- laki dan perempuan.
Al-Qur’an, menurut
Riffat tidak menyatakan bahwa Adam manusia pertama dan tidak pula menyatakan
bahwa Adam laki- laki. Adam adalah kata
benda maskulin, hanya secara linguistik, bukan menyangkut jenis kelamin. Riffat
pun tidak memastikan bahwa Adam itu perempuan, tapi menolak dengan tegas kalau
Adam harus laki- laki. Bagi dia, istilah Adam sama dengan basyar, al- insan dan
an- nas yang menunjukkan manusia, bukan jenis kelamin.
Jadi, menurut Riffat,
Adam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula
caranya. Bukan Adam diciptakan dulu dari tanah, kemudian Hawa dari tulang rusuk
Adam seperti pemikiran para mufassir dan hampir keseluruhan umat Islam.[6]
4.
Asghar
Ali Engineer
Asghar
Ali Engineer dilahirkan di Rajasthan (dekat Udaipur, India) tahun 1939. Ia
mendapatkan gelar doktor dalam bidang teknik sipil dari Vikram University (Ujjain, India) [7].Salah
satu buku karyanya yang secara jelas bahwa dia seorang feminis yang mencoba
menggugat penafsiran yang telah ada tentang hak- hak perempuan dalam Islam
adalah the Right of Women in Islam, diterbitkan tahun 1992 di London.
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inonesia oleh Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf dengan judul Hak- hak Perempuan dalam Islam.[8]
Di awal tulisannya Asghar
mengatakan, demi mengekalkan kekuasaan atas perempuan, masyarakat seringkali
mengekang norma-norma adil dan egaliter yang ada dalam al-Qur’an . Asghar juga
mengatakan bahwa Alquran
merupakan
kitab suci pertama yang memberikan martabat kepada kaum perempuan sebagai
manusia di saat mereka dilecehkan oleh peradaban besar seperti Bizantium dan
Sassanid. Menurutnya, kitab suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan
dalam masalah perkawinan, perceraian, kekayaan, dan warisan .
Berkaitan
dengan perempuan, Asghar menganggap bahwa meskipun Alquran memuliakan perempuan
setara dengan laki-laki, namun semangat itu ditundukkan oleh patriarkisme yang
telah mendarah daging dalam kehidupan berbagai masyarakat, termasuk kaum
Muslim. Meskipun secara normatif dapat diketahui bahwa Alquran memihak kepada
kesetaraan status antara kedua jenis kelamin, secara kontekstual al-Qur’an
mengakui adanya kelebihan laki-laki di bidang tertentu dibanding perempuan.
Namun, dengan mengabaikan konteksnya,
fuqaha` (jamak dari fāqih)
berusaha memberikan status lebih unggul bagi laki-laki . Dalam proses
pembentukan syariah, ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah perempuan sering
ditafsirkan sesuai dengan prasangka-prasangka yang diidap oleh banga Arab dan non Arab pra Islam
– yakni peradaban Hellenisme dan Sassanid – mengenai perempuan. Dengan
demikian, interpretasi terhadap ayat-ayat Alquran sangat tergantung pada sudut
pandang dan posisi apriori yang diambil penafsirnya.
Mengenai
ayat Alquran “al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’” (QS. al-Nisa’ (4): 34) Asghar
mengatakan, kata qawwam dalam ayat itu
berarti pemberi nafkah dan pengatur urusan keluarga, dan Alquran tidak
mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwām. Menurutnya, jika Allah
memaksudkan ayat tersebut sebagai sebuah pernyataan normatif, maka pastilah hal
itu akan mengikat semua perempuan di semua zaman dalam semua keadaan. Namun,
Allah tidak menghendaki hal tersebut. Untuk menguatkannya Asghar mengutip pendapat-pendapat
dari beberapa pakar seperti Parvez, seorang penafsir Alquran terkemuka dari
Pakistan, Maulana Azad, pelopor hak-hak perempuan, dan Maulana Umar Ahmad
Usmani yang pada prinsipnya mengatakan bahwa Allah tidak melebihkan laki-laki
atas perempuan. Dari penjelasan di atas, tampaknya Asghar ingin mengatakan
bahwa dalam khazanah tafsir, khususnya yang berkaitan dengan masalah perempuan,
sebenarnya ada pendapat-pendapat yang bersikap empati atau pro-perempuan.
Meskipun harus diakui, pendapat yang demikian kalah populer dibanding dengan
pendapat-pendapat lain yang misoginis. Atas dasar empati inilah Asghar mencoba
menunjukkan alternatif tafsiran atas beberapa ayat Alquran yang selama ini
digunakan untuk mengekalkan subordinasi perempuan, yakni berkaitan dengan
perceraian, perkawinan, hak waris, kesaksian, dan hak ekonomis.[9]
DAFTAR
PUSTAKA
Aida Fitalaya, S. Hubies, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan,
dalam “Membincangkan Feminisme ”,
Dadang S. Anshori dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah)
Irsyadunnas, PROLOG ISLAM DAN GENDER : Penafsiran Feminis
Terhadap Hak- Hak Perempuan
dalam Islam dari Seorang TokohFeminis Muslim Fatima Mernissi, dalam “Jurnal Studi Gender dan Anak”,Purwokerto :
Yinyang, 2009
Marzuki, Perempuan dalam Pandangan Feminis Muslim, hal 6-8.
http :// staff.uny.ac.id. diakses
08/11/2012 pukul 13:45
Nasaruddin, Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an,
Jakata : Paramadina,2001
Yunahar, Ilyas, FEMINISME dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik
dan Kontemporer, Yogyakarta :
Pustak Pelajar, 1997
[1]Aida Fitalaya,
S. Hubies, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan, dalam “Membincangkan Feminisme ”,
Dadang S. Anshori dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah).hal 19.
[2]
Irsyadunnas, PROLOG ISLAM DAN GENDER : Penafsiran Feminis Terhadap Hak- Hak
Perempuan dalam Islam dari Seorang TokohFeminis Muslim Fatima Mernissi,
dalam “Jurnal Studi Gender dan Anak”,Purwokerto : Yinyang, 2009 , hal 2-3.
[3] Marzuki,
Perempuan dalam Pandangan Feminis Muslim, hal 6-8. http ://
staff.uny.ac.id. diakses 08/11/2012 pukul 13:45
[4] Ibid,
8-10
[5] Yunahar,
Ilyas, FEMINISME dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta : Pustak Pelajar, 1997. Hal 58-59
[6] Ibid,
[7] Marzuki,
Op Cit, hal. 13
[8] Yunahar,
Ilyas, Op Cit, hal. 57
[9] Marzuki, Op Cit, h. 14-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar