Laras Perpisahan
Ahh... ia mengalir lagi. Deras sekali. Lurus,
namun kadang juga berbelok, menuju celah. Air ini dingin, namun terasa sangat
panas, mataku memerah.
Kelamaan, aku sudah
terbiasa dan kebal menerima ini, air yang menghujan tiap malam. Ia mengaliri
pipi, telinga, juga mulut. Sesekali ku kecap, asin. Barangkali bisa dijadikan
pengganti garam untuk sayurku, pagi nanti.
Seperti biasa,malam ini
pun begitu banjir. menyerupai lautan.
Kreek.. pintu kamarku ada yang membuka, dan wajah kakek nongol
di sana. Buru- buru ku usap air yang masih menggenang di sekitar mata dan pipiku.
“ada apa Kek?” tanyaku
dengan suara serak menahan isak.
“kamu belum tidur?” kakek
malah balik tanya.
“Belum. Memangnya kenapa
Kek?”
“panggilkan Mbah Wirno ya,
sekarang!” perintah kakek lalu menutup pintu tanpa menunggu aku jawab iya atau
tidak.
Jujur, aku keberatan.
Dalam keadaan rapuh dan tengah malam begini, aku disuruh ke tempat Mbah Wirno
yang rumahnya melewati kuburan itu. Aku gak berani. Bukan takut hantu, tapi aku
lebih khawatir pada pemuda- pemuda yang biasa mabuk di dekat pemakanan umum itu
yang bisa saja menggodaku. Lagian, untuk apa kakek memanggil mbah Wirno?namun,
Saat aku hendak menolak perintahnya, aku
mendengar suara tangisan Faiz.
“ yuli ! cepat panggil
Mbah Wirno!” suara kakek terdengar kencang dan membentak.
Tangisan Faiz pun kian
mengeras, seperti erangan kesakitan. Aku khawatir, buru- buru ku ambil dan
pakai jilbab yang ada diatas kasur lalu
bergegas keluar rumah, aku tak lagi peduli dengan preman yang mungkin
menggangguku. Aku harus menjemput mbah Wirno.
Beruntung, baru beberapa
langkah dari rumah, aku bertemu dengan lelaki tua dan bertongkat itu. Ternyata
dia baru saja mengobati anak pak Lurah yang jatuh dari motor. Ya, kampungku
memang lebih mempercayai mbah wirno dibanding dokter. Dan meski aku kurang yakin
dengan cara pengobatannya, aku harus memintanya memeriksa faiz.
Setelah melihat kondisi Faiz,
mbah Wirno menjelaskan kalau adikku kesambet waktu bermain di belakang
rumah. Dan memberi segelas air putih yang diberi jampi-jampi untuk di minum dan
diusapkan ke muka Faiz.
Kesambet? Benarkah?aah... entah apa katanya yang penting kini Faiz
telah berhenti dari tangisannya. Aku menjadi lega.
aku memberikan upah pada
mbah Wirno dan mengantarnya hingga depan rumah. Faiz dan kakek sudah tidur
lelap, barangkali Faiz telah lelah menangis, begitu juga kakek yang berusaha
menenangkannya. Ku perhatikan lekat- lekat wajah kakek. Kerutan di wajahnya kian
banyak, begitu juga lipatan-lipatan kulit di tangan maupun kaki dan tubuhnya.
Aku tahu... dia semakin tua dan ringkih, namun ia masih harus merawat dan
menjaga ke tiga cucunya, Faiz, Diyo dan aku. Di usia yang semakin senja, ia
harus tetap kerja keras untuk kami. Mataku kembali memanas menahan sesuatu yang
hendak keluar dan akan membasahi wajahku. Di samping kakek, Faiz tertidur
pulas. Masih tersisa butiran bening di pojok matanya. Melihat wajah polos dan
tubuh kecilnya membuatku tak lagi bisa membendung sesuatu yang hendak keluar
dari mataku ini. Anak kecil seusia dia, yang masih membutuhkan kasih sayang
orang tua dan seharusnya memperoleh itu, menjadi kekurangan perhatian setelah
perceraian orang tua kami. Bagaimanapun, meski kakek sangat menyayangi Faiz
namun takkan bisa menggantikan kasihnya seorang ibu. Ayah menikah dengan wanita
lain dan pindah ke luar kota bersama istri barunya. Sedangkan Ibu, untuk memenuhi kebutuhan kami, ia memutuskan
mengadu nasib di negeri orang. Dan kami lebih memilih tinggal bersama kakek
daripada harus mengikuti ayah dan satu rumah dengan orang asing meskipun
sebenarnya ia istri ayah. Pipiku semakin banjir, dan isakku tak bisa lagi di
redam. Aku kembali ke kamar, melanjutkan pertarungan melawan tangisan malam.
Tapi... kemana perginya Diyo?? Ah.. sudah empat hari, dia belum juga pulang.
“Kapan kau berubah Yo?
Jangan terus-terusan begini. Keadaan kita telah lain, jangan samakan dengan
dulu ketika ayah-ibu masih bersama dan selalu memenuhi kebutuhan yang kita mau.
Kau harus prihatin sekarang” omelku ketika Diyo terus-terusan meminta motor
baru.
“motor ini sering mogok
kak, diyo jadi sering telat sekolah karena harus memperbaikinya dulu saat mogok
di tengah perjalanan” ujarnya memberi alasan”Diyo juga.. malu, memakai motor
butut ini” tambahnya menunduk.
“kalau begitu naik angkot
saja, nanti kakak kasih uang tambahan buat ongkos” putusku mengakhiri
pembicaraan saat itu. Sejak kejadian itu Diyo tak pulang ke rumah.
Tidur dimana kau sekarang
Yo?? Andai saja kamu tahu, kakak juga tersiksa dan perih dengan keadaan ini.
Sebagai adik kakak yang paling besar, tidak bisakah kita berbagi rasa atau
sekedar curhat untuk meringankan beban ini? Apa kau gak mau pulang karena masih
menginginkan motor itu? Pulanglah dik.
Pagi harinya, aku
mendengar kalau Diyo di Tahan di Kapolsek sebab ketahuan minum- minuman keras
di sekitar kuburan umum. Ah.. ternyata semalam aku takut pada pemuda yang
diantaranya adikku sendiri. Untungnya tidak mendapat sanksi selain pihak
keluarga harus menebusnya dengan beberapa jumlah rupiah, tentunya Diyo juga
mendapat sanksi dari pihak sekolah atas perbuatannya dengan mendapat skors
selama 3 hari. Keadaan ini.. situasi ini... aku membencinya. Benci karena
mungkin aku gagal sebagai seorang kakak hingga adik ku pun tak mau mendengar
apa yang aku ucap. Aku lalai dalam mengurus mereka. Sebagai seorang penjaga
kios dan kuliah program karyawan aku mungkin terlalu sibuk dengan kegiatanku
itu sendiri, tak sempat mengurus adik-adik dan kakek. Bahkan tanpa sengaja aku
membentak saat Faiz mengganggu atau kakek menyuruhku ketika aku tengah
menyelesaikan tugas kuliah, dan aku hanya bisa menyesal setelahnya.
Hidupku terlalu rumit, atau aku sendiri yang
membuatnya rumit. Ahh.. entahlah, yang pasti saat ini, setiap hari dan waktu,
aku berharap dan berandai, bila ada ibu.. jika ada ibu.. kalau ada ibu..juga
ada ayah serta perceraian itu tak terjadi, semua tak begini. Tak akan ada lautan
yang membanjiri kamarku tiap malam. Aku sempat merutuki nasib, mencaci takdir
dan pernah berkata kalau Tuhan tak adil. ah.. entahlah. Setan apa yang merasuki
saat aku berfikir seperti itu. lalu Aku ingat perkataan Ayah dulu, saat aku
gagal memasuki sekolah impianku ‘”Allah tidak akan memberikan cobaan diluar
batas mampu hambanya, pasti ada hikmah dengan belum diterimanya kau di sekolah
itu Yul” begitu ucap Ayah untuk menghiburku. nyatanya, aku justru masuk sekolah
Favorit yang lebih berkualitas dari sekolah yang aku inginkan sebelumnya. Dan
saat ini... dengan perceraian yang telah terjadi antara Ayah dan Ibu, aku
percaya, meskipun berat dan sulit.. ini terbaik bagi mereka dan kami. Aku yakin, dibalik semua ini, terselip hikmah
yang luar biasa dahsyatnya. Setidaknya... aku menjadi lebih dewasa menghadapi
hidup yang kadang tak sesuai ingin dan harap. serta... dengan Rutinitas hujan
malam ini membawaku untuk menggelar sajadah tiap malam pula dan melebur dalam
nikmat dengan sujud pada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar