welcome

berkaryalah, sekecil apapun itu!!!
101211064

Rabu, 07 Maret 2012

cerpen


Laras Perpisahan

Ahh... ia mengalir lagi. Deras sekali. Lurus, namun kadang juga berbelok, menuju celah. Air ini dingin, namun terasa sangat panas, mataku memerah.
Kelamaan, aku sudah terbiasa dan kebal menerima ini, air yang menghujan tiap malam. Ia mengaliri pipi, telinga, juga mulut. Sesekali ku kecap, asin. Barangkali bisa dijadikan pengganti garam untuk sayurku, pagi nanti.
Seperti biasa,malam ini pun begitu banjir. menyerupai lautan.
Kreek.. pintu kamarku ada yang membuka, dan wajah kakek nongol di sana. Buru- buru ku usap air yang masih menggenang di sekitar mata dan pipiku.
“ada apa Kek?” tanyaku dengan suara serak menahan  isak.
“kamu belum tidur?” kakek malah balik tanya.
“Belum. Memangnya kenapa Kek?”
“panggilkan Mbah Wirno ya, sekarang!” perintah kakek lalu menutup pintu tanpa menunggu aku jawab iya atau tidak.
Jujur, aku keberatan. Dalam keadaan rapuh dan tengah malam begini, aku disuruh ke tempat Mbah Wirno yang rumahnya melewati kuburan itu. Aku gak berani. Bukan takut hantu, tapi aku lebih khawatir pada pemuda- pemuda yang biasa mabuk di dekat pemakanan umum itu yang bisa saja menggodaku. Lagian, untuk apa kakek memanggil mbah Wirno?namun, Saat  aku hendak menolak perintahnya, aku mendengar suara tangisan Faiz.
“ yuli ! cepat panggil Mbah Wirno!” suara kakek terdengar kencang dan membentak.
Tangisan Faiz pun kian mengeras, seperti erangan kesakitan. Aku khawatir, buru- buru ku ambil dan pakai jilbab yang ada diatas  kasur lalu bergegas keluar rumah, aku tak lagi peduli dengan preman yang mungkin menggangguku. Aku harus menjemput mbah Wirno.
Beruntung, baru beberapa langkah dari rumah, aku bertemu dengan lelaki tua dan bertongkat itu. Ternyata dia baru saja mengobati anak pak Lurah yang jatuh dari motor. Ya, kampungku memang lebih mempercayai mbah wirno dibanding dokter. Dan meski aku kurang yakin dengan cara pengobatannya, aku harus memintanya memeriksa faiz.
Setelah melihat kondisi Faiz, mbah Wirno menjelaskan kalau adikku kesambet waktu bermain di belakang rumah. Dan memberi segelas air putih yang diberi jampi-jampi untuk di minum dan diusapkan ke muka Faiz.
Kesambet? Benarkah?aah... entah apa katanya yang penting kini Faiz telah berhenti dari tangisannya. Aku menjadi lega.
aku memberikan upah pada mbah Wirno dan mengantarnya hingga depan rumah. Faiz dan kakek sudah tidur lelap, barangkali Faiz telah lelah menangis, begitu juga kakek yang berusaha menenangkannya. Ku perhatikan lekat- lekat wajah kakek. Kerutan di wajahnya kian banyak, begitu juga lipatan-lipatan kulit di tangan maupun kaki dan tubuhnya. Aku tahu... dia semakin tua dan ringkih, namun ia masih harus merawat dan menjaga ke tiga cucunya, Faiz, Diyo dan aku. Di usia yang semakin senja, ia harus tetap kerja keras untuk kami. Mataku kembali memanas menahan sesuatu yang hendak keluar dan akan membasahi wajahku. Di samping kakek, Faiz tertidur pulas. Masih tersisa butiran bening di pojok matanya. Melihat wajah polos dan tubuh kecilnya membuatku tak lagi bisa membendung sesuatu yang hendak keluar dari mataku ini. Anak kecil seusia dia, yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua dan seharusnya memperoleh itu, menjadi kekurangan perhatian setelah perceraian orang tua kami. Bagaimanapun, meski kakek sangat menyayangi Faiz namun takkan bisa menggantikan kasihnya seorang ibu. Ayah menikah dengan wanita lain dan pindah ke luar kota bersama istri barunya. Sedangkan  Ibu, untuk memenuhi kebutuhan kami, ia memutuskan mengadu nasib di negeri orang. Dan kami lebih memilih tinggal bersama kakek daripada harus mengikuti ayah dan satu rumah dengan orang asing meskipun sebenarnya ia istri ayah. Pipiku semakin banjir, dan isakku tak bisa lagi di redam. Aku kembali ke kamar, melanjutkan pertarungan melawan tangisan malam. Tapi... kemana perginya Diyo?? Ah.. sudah empat hari, dia belum juga pulang.
“Kapan kau berubah Yo? Jangan terus-terusan begini. Keadaan kita telah lain, jangan samakan dengan dulu ketika ayah-ibu masih bersama dan selalu memenuhi kebutuhan yang kita mau. Kau harus prihatin sekarang” omelku ketika Diyo terus-terusan meminta motor baru.
“motor ini sering mogok kak, diyo jadi sering telat sekolah karena harus memperbaikinya dulu saat mogok di tengah perjalanan” ujarnya memberi alasan”Diyo juga.. malu, memakai motor butut ini” tambahnya menunduk.
“kalau begitu naik angkot saja, nanti kakak kasih uang tambahan buat ongkos” putusku mengakhiri pembicaraan saat itu. Sejak kejadian itu Diyo tak pulang ke rumah.
Tidur dimana kau sekarang Yo?? Andai saja kamu tahu, kakak juga tersiksa dan perih dengan keadaan ini. Sebagai adik kakak yang paling besar, tidak bisakah kita berbagi rasa atau sekedar curhat untuk meringankan beban ini? Apa kau gak mau pulang karena masih menginginkan motor itu? Pulanglah dik.
Pagi harinya, aku mendengar kalau Diyo di Tahan di Kapolsek sebab ketahuan minum- minuman keras di sekitar kuburan umum. Ah.. ternyata semalam aku takut pada pemuda yang diantaranya adikku sendiri. Untungnya tidak mendapat sanksi selain pihak keluarga harus menebusnya dengan beberapa jumlah rupiah, tentunya Diyo juga mendapat sanksi dari pihak sekolah atas perbuatannya dengan mendapat skors selama 3 hari. Keadaan ini.. situasi ini... aku membencinya. Benci karena mungkin aku gagal sebagai seorang kakak hingga adik ku pun tak mau mendengar apa yang aku ucap. Aku lalai dalam mengurus mereka. Sebagai seorang penjaga kios dan kuliah program karyawan aku mungkin terlalu sibuk dengan kegiatanku itu sendiri, tak sempat mengurus adik-adik dan kakek. Bahkan tanpa sengaja aku membentak saat Faiz mengganggu atau kakek menyuruhku ketika aku tengah menyelesaikan tugas kuliah, dan aku hanya bisa menyesal setelahnya.
 Hidupku terlalu rumit, atau aku sendiri yang membuatnya rumit. Ahh.. entahlah, yang pasti saat ini, setiap hari dan waktu, aku berharap dan berandai, bila ada ibu.. jika ada ibu.. kalau ada ibu..juga ada ayah serta perceraian itu tak terjadi, semua tak begini. Tak akan ada lautan yang membanjiri kamarku tiap malam. Aku sempat merutuki nasib, mencaci takdir dan pernah berkata kalau Tuhan tak adil. ah.. entahlah. Setan apa yang merasuki saat aku berfikir seperti itu. lalu Aku ingat perkataan Ayah dulu, saat aku gagal memasuki sekolah impianku ‘”Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas mampu hambanya, pasti ada hikmah dengan belum diterimanya kau di sekolah itu Yul” begitu ucap Ayah untuk menghiburku. nyatanya, aku justru masuk sekolah Favorit yang lebih berkualitas dari sekolah yang aku inginkan sebelumnya. Dan saat ini... dengan perceraian yang telah terjadi antara Ayah dan Ibu, aku percaya, meskipun berat dan sulit.. ini terbaik bagi mereka dan kami.  Aku yakin, dibalik semua ini, terselip hikmah yang luar biasa dahsyatnya. Setidaknya... aku menjadi lebih dewasa menghadapi hidup yang kadang tak sesuai ingin dan harap. serta... dengan Rutinitas hujan malam ini membawaku untuk menggelar sajadah tiap malam pula dan melebur dalam nikmat dengan sujud pada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar